MUHAMMAD
ISMUL ABDI
Pendahuluan
Munculnya ilmu-ilmu yang ada
sekarang berasal dari filsafat karena filsafat merupakan mother of science
(induk ilmu pengetahuan). Hal ini karena filsafat adalah perenungan yang
mendalam terhadap suatu obyek. Dari perenungan dan berfikir mendalam inilah
terjadi suatu analisa kritis sehingga menemukan suatu jawaban atau hanya sebuah
hipotesa.
Perjalanan penemuan ilmu-ilmu
tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup lama. Pertumbuhan masyarakat
berilmu dimulai dari zaman Yunani kuno.
Pada zaman ini Yunani sudah tidak
mempercayai lagi mitologi-mitologi, mereka cenderung untuk berfikir kritis
dengan menumbuhkan sikap an inquiring attitude yakni suatu sikap yang
senang menyelediki sesuatu secara kritis.[1]
Pengertian Pengetahuan
Dari
berbagai referensi yang ada, sering ditemukan kerancuan antara pengertian
pengetahuan dan ilmu. Kebanyakan kedua kata tersebut dianggap memiliki kesamaan
arti, bahkan ada yang menggunakan dua kata tersebut menjadi kata majemuk yang
memiliki arti tersendiri. Sebagai contoh, seperti dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang menganggap sama antara keduanya.[2]
Pengetahuan memiliki makna yang sama dengan knowledge.[3]
Dalam keterangan lain menyatakan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang
benar (knowledge is justified true belief).[4]
Pengetahuan merupakan berbagi gejala yang diperoleh manusia melalui
pengamatan inderawi, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan merupakan refleksi
dari apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.[5]
Berawal dari
pengamatan yang ditindak lanjuti penelitian yang sistematis dengan melalui
metode-metode ilmiah tertentu, pengetahuan akan menjelma menjadi sebuah ilmu (science). Sebagaimana
ungkapan Ralph
Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan “ilmu adalah yang empiris, rasional,
umum dan sistematik dan keempatnya serentak”. Lebih lanjut, Ashley Montagun,
guru besar antropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa “ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengalaman studi
dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji”.[6]
Dengan
melihat berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu
merupakan sebuah pengetahuan yang tersusun dalam satu sistem berasal dari
pengalaman studi dan percobaan yang bersifat empiris, rasional, umum dan
sistematik. Dan ilmu juga didalamnya mengandung adanya pengetahuan yang pasti,
praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai obyek
studi yang bersifat fisis (natural).[7]
Ilmu dan Nilai
Sebagaimana
penjelasan di atas bahwa ilmu (science) merupakan hasil dari pengetahuan
yang ditindak lanjuti secara empiris, sistematis dan bersifat rasional. Ilmu
atau yang selanjutnya disebut dengan ilmu pengetahuan merupakan salah satu
komponen kehidupan yang penting bagi manusia. Dengan ilmu pengetahuan,
kebutuhan manusia akan sesuatu menjadi lebih mudah dan cepat terpenuhi. Dan
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam sejarah kehidupan
manusia sagat bergantung pada ilmu pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan telah banyak turut campur dalam merubah wajah kehidupan manusia,
sebut saja dalam hal pemberantasan penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai
fasilitas lain seperti alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Namun disadari
ataupun tidak, manusia dihadapkan pada sebuah pertanyaan “apakah ilmu
pengetahuan selamanya menjadi berkah bagi kehidupan manusia ?”, yang harus
segera mendapatkan jawabannya.
Mengenai
hal ini kemudian muncul filsafat nilai atau dikenal dengan istilah aksiologi. Aksiologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya.[8]
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang
berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[9]
Dalam
aksiologi mengacu dua nilai, yaitu etika dan estetika. Etika menilai perbuatan
manusia atau lebih tepat mengenai norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia detinjau dari segi
baik dan tidak baik dalam kondisi normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan terhadap fenomena disekelilingnya.
Dihadapkan
dengan masalah nilai dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi modern
yang bersifat merusak, para ilmuwan dibagi menjadi dua kelompok besar. Golongan
pertama, menyatakan bahwa ilmu harus tetap bersifat netral terhadap nilai-nilai
baik secara ontologis maupun aksiologis. Ilmuwan hanya terfokus pada bagaimana
mendapatkan pengetahuan baru dan terserah orang lain menggunakannya. Rupanya
golongan ini melanjutkan tradisi kenetralan ilmu yang bebas nilai secara total,
seperti era Galileo. Golongan ke dua mengatakan bahwa netralitas ilmu hanya
sebatas metafisis keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai
moral.[10]
Tolak Ukur Kebenaran Ilmiah
Untuk
menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar
kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan
dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
1.
Teori Korespondensi
Menurut
teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to
objective reality). Korespondensi merupakan teori kebenaran yang paling
diterima secara luas oleh kelompok realis.[11]
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu
sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang
pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan
erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[12]
Jadi,
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[13]
Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “Iain Sunan Ampel terletak di
Surabaya” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek
yang bersifat faktual, yakni Iain Sunan Ampel memang benar-benar berada di Surabaya.
Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “Iain Sunan Ampel berada di Jakarta”
maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai
dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “Iain Sunan Ampel bukan
berada di Jakarta melainkan di Surabaya”.
Menurut
teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena itu kekeliruan
tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu
pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka
pertimbangan itu salah.[14]
2.
Teori Koherensi
Berdasarkan
teori koherensi ini, suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.[15]
Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren
menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan
mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan
seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.[16]
Mengenai
teori konsistensi ini dapat diketahui: pertama, kebenaran adalah kesesuaian
antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan yang sudah diketahui,
diterima, dan diakui sebagai kebenaran. Kedua, agaknya teori ini dapat disebut
dengan teori penyaksian tentang sebuah kebenaran, karena dalam teori ini
dikenal suatu putusan dianggap benar apabila mendapat pembenaran-pembenaran
dari putsan-putusan yang terlebih dahulu diketahui, diterima, dan diakui
sebagai sebuah kebenaran.
Dengan demikian, sebuah teori dianggap benar
apabila tahan uji (testable). Artinya,
sebuah teori yang telah dicetuskan seseorang dan kemudian teori tersebut
dikemudian hari diuji oleh orang lain, tentunya dengan mengkomparasikan dengan
data-data temuan terbaru. Sehingga, apabila teori lama bertentangan dengan
temuan-temuan baru, secara otomatis teori pertama akan gugur (refutability).
Sebaliknya, apabila data terbaru tersebut cocok, maka teori lama akan semakin
kuat.[17]
3.
Teori Pragmatisme
Teori
pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah
yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan
adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan
dengan filsafat Amerika.[18]
Pragmatisme[19] menentang
segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian
kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan.[20]
Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis
adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup
praktis dalam kehidupan manusia.[21]
Kriteria
pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan,
demikian seterusnya.[22]
Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga
pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar
adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang
membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Dari
teori ini dapat diberikan sebuah contoh pandangan para penganut teori pragmatis
tentang Tuhan. Bagi pragmatisme, sebuah agama itu benar bukan karena adanya
unsur Tuhan yang disembah oleh penganut agama tersebut sungguh-sungguh ada,
tetapi agama tersebut dianggap benar karena pengaruhnya yang positif terhadap
kehidupan manusia, berkat kepercayaan terhadap Tuhan maka kehidupan manusia
menjadi tertib dan tenang jiwanya. Kemudian dalam dunia sains, suatu ilmu itu
bermanfaat atau tidak bagi manusia. Ilmu botani dianggap benar oleh para petani
karena mendatangkan manfaat, tetapi belum tentu bagi pedagang, ekonom,
politikus dan sebagainya.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden,
koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan dari pada
saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. Kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan
dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan
tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah
pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan
lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan
akibat-akibatnya yang praktis.[23]
Etika Keilmuan
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, antara yang baik dan menghindari yang buruk dari
perilaku keilmuannnya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mampu
mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya.
Etika
normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya
terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok
persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah
moral, yaitu hati nurani kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang
bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah
penghayatan tentang baik dan buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika
keilmuan adalah nilai dan norma moral. Kriteria yang dipakai adalah bahwa nilai
moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik
seseorang. Ia akan bergabung pada nilai yang telah ada, seperti nilai agama,
hukum, budaya dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang
terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah
seseorang berlaku baik atau sebaliknya dari sudut etis, begitu pula hal ini
berlaku bagi seorang ilmuwan.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah
dihasilkan oleh para ilmuwan, baik berupa teknologi maupun teori-teori
emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, haruslah memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini artinya ilmu
pengetahuan tersebut sudah tidak lagi bebas nilai, karena sudah berada di
tengah-tengah masyarakat luas yang siap menilai dan mengujinya.[24]
Kesimpulan
1.
Pengetahuan (knowledge) merupakan
berbagi gejala yang diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi, atau dengan
kata lain bahwa pengetahuan merupakan refleksi dari apa yang diketahui atau
hasil pekerjaan tahu.
2.
Ilmu (science) merupakan
sebuah pengetahuan yang tersusun dalam satu sistem berasal dari pengalaman
studi dan percobaan yang bersifat empiris, rasional, umum dan sistematik.
3.
Aksiologi atau filsafat nilai merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Etika menilai perbuatan manusia atau lebih
tepat mengenai norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia detinjau dari segi baik dan tidak baik
dalam kondisi normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan terhadap fenomena disekelilingnya.
4.
Teori kebenaran dibagi menjadi tiga:
-
Korespondensi: proposisi adalah benar apabila terdapat suatu
fakta yag diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Dengan kata
lain kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang selaras dengan
realitas, yang serasi (correspondens) dengan situasi aktual.
-
Koherensi: kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan (judgement) dengan relitas atau fakta. Dengan
kata lain, kebenaran ditegakkan atas putusan-putusan lainnya yang telah
diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu.
-
Pragmatisme: kebenaran didasarkan pada asas
kemanfaatan. Sebuah teori atau apapun itu baru dikatakan benar apabila
mendatangkan manfaat atau kebaikan bagi kehidupan manusia, begitu pula sebaliknya,
tidak akan dikatakan benar bila tidak mendatangkan manfaat.
5.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang
merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara
rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Pokok persoalan dalam
etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati
nurani kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik
(kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang baik dan buruk yang
dihubungkan dengan perilaku manusia.
Daftar Kepustakaan
Amin,
Miska Muhammad. Epistemologi Islam. Jakarta: UI Press. 1983.
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Bertens,
K. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia. 1983.
Gazalba,
Sidi. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. 1992.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta: Kanisius. 1980.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. 2002.
Salam,
Burhanuddin. Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Reneka Cipta. 1997.
Suhartono,
Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2005.
Sumiasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarata: Pustaka
Sinar Harapan. 1990.
Surajiyo.
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
2008.
Titus,
Harold H. Living Issues in Philasophy. terj. H. M. Rasyidi. Persoalan-Persoalan
Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
[1]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), 47.
[2]
Ilmu berarti pengetahuan. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
[4]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
85.
[5]
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 4.
[6]
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 15.
[7]
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2005), 74.
[8]
Burhanuddin
Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka
Cipta, 1997), 168.
[9]
Jujun S. Sumiasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarata:
Pustaka Sinar harapan, 1990), 234.
[10]
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 169.
[11] Berkaitan
dengan teori ini, ada beberapa hal yang perlu dicatat, yaitu: pertama, teori
ini sangat ditekankan oleh aliran empirisisme yang mengutamakan pengalaman dan
pengamatan inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Maka, teori ini
sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris untuk mengungkapkan
kenyataan yang sebenarnya. Sehubungan dengan itu, teori ini lebih mengutamakan
cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan yang terungkap hanya
melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris. Kedua, teori
ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subjek dan objek, antara si
pengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualitas tersebut, teori
ini lalu menekankan pentingnya objek bagi kebenaran pengetahuan manusia. Bahkan
bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengatahuan manusia adalah
objek. Subjek atau akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh
objek. Ketiga, teori
ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan.
Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi. Bukti ini bukan
konstruksi akal budi, bukan hasil imajinasinya, melainkan adalah apa yang
disodorkan oleh objek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Kebenaran
akan terbukti dengan sendirinya jika apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai
kenyataan sebagaimana diungkapnya. Maka, yang disebut sebagai pembuktian atau
justifikasi adalah proses menyodorkan fakta yang mendukung suatu proposisi atau
hipotesis. Persoalan yang muncul sehubungan dengan teori ini adalah bahwa semua
pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak didukung oleh bukti empiris,
oleh kenyataan faktual apapun, tidak akan dianggap benar. Jadi mislanya, “ada
Tuhan Yang Maha Kuasa” tidak dianggap sebagai suatu kebenaran jika tidak
didukung oleh bukti empiris tertentu. karena itu, pernyataan tersebut bukanlah
pengetahuan, melainkan keyakinan.
[12]
Titus, Harold H., Living Issues in Philasophy, terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 237.
[13]
Jujun, Filsafat Ilmu, 57.
[14]
Ibid., 337.
[15]
Ibid., 55.
[16] Dianut
oleh kaum rasionalis. Kebenaran
tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan
dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. maka suatu
pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis dianggap benar jika
proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang
dianggap benar. Sebagai contoh riil,
adalah ungkapan, “Lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam
air yang sedang mendidih”. Bagi kaum empiris yang menganut kebenaran sebagai
persesuaian, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, perlu diadakan
percobaan dengan memasukkkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih, untuk
mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Bagi kaum
rasionalis, yang menganut kebenaran sesuai keteguhan, untuk mengetahui
kebenaran pernyataan itu, kita cukup mengecek apakah pernyataan ini sejalan
dengan pernyataan lainnya. Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya.
Ternyata, pernyataan itu benar karena lilin terbuat dari bahan parafin, dan
parafin selalu mencair pada suhu 60 derajat Celcius. Karena arti “mendidih” ada
pada suhu 100 derajat Celcius, maka dengan sendirinya lilin akan mencair jika
dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih. “Lilin mendidih jika dimasukkan
ke dalam air yang sedang mendidih” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu
dirujuk pada realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan realitas. Pernyataan
itu benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parifin
yang selalu mencair pada suhu 60 derajat Celcius, dan juga sejalan dengan
pernyataan lain bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Dengan kata
lain, pernyataan “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang
mendidih” hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan tadi. Hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain. Ada
pernyataan, “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”.
Timbul pertanyaan, “Mengapa?” atau “Bagaimana anda tahu?” Kaum empiris akan
mengatakan: “Coba saja, dan buktikan apakah benar atau tidak”. Kaum rasionalis
akan menjawab: “Mudah saja. Lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu
mendidih pada suhu 60 derajat Celcius. Air baru mendidih pada suhu 100 derajat
Celcius. Maka kesimpulan logisnya: “Lilin pasti dengan sendirinya akan mencair
jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”
[17]
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1983), 73.
[18]
Jujun, Filsafat Ilmu, 57.
[19] Teori
pragmatis tentang kebenaran ini dikembangkan dan dianut oleh para pilosof
pragmatis dari Amerika seperti Charles Sanders Pierce dan William James. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya
dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar
adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu
memungkinkan seseorang berdasarkan
ide itu melakukan
sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
[20]
Titus, Philasophy, 241.
[21]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II (Yogyakarta: Kanisius,
1980), 130.
[22]
Jujun, Filsafat Ilmu, 59.
[23]
Titus, Philasophy, 245.
[24]
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 171.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar