Selamat Datang di http://abdymart.blogspot.com/

Jumat, 24 Januari 2014

PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN, Ilmu dan Nilai, Kebenaran Ilmiah, Etika Keilmuan



MUHAMMAD ISMUL ABDI



Pendahuluan
Munculnya ilmu-ilmu yang ada sekarang berasal dari filsafat karena filsafat merupakan mother of science (induk ilmu pengetahuan). Hal ini karena filsafat adalah perenungan yang mendalam terhadap suatu obyek. Dari perenungan dan berfikir mendalam inilah terjadi suatu analisa kritis sehingga menemukan suatu jawaban atau hanya sebuah hipotesa.
Perjalanan penemuan ilmu-ilmu tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup lama. Pertumbuhan masyarakat berilmu dimulai dari zaman Yunani kuno.
Pada zaman ini Yunani sudah tidak mempercayai lagi mitologi-mitologi, mereka cenderung untuk berfikir kritis dengan menumbuhkan sikap an inquiring attitude yakni suatu sikap yang senang menyelediki sesuatu secara kritis.[1]

Pengertian Pengetahuan
            Dari berbagai referensi yang ada, sering ditemukan kerancuan antara pengertian pengetahuan dan ilmu. Kebanyakan kedua kata tersebut dianggap memiliki kesamaan arti, bahkan ada yang menggunakan dua kata tersebut menjadi kata majemuk yang memiliki arti tersendiri. Sebagai contoh, seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menganggap sama antara keduanya.[2]
Pengetahuan memiliki makna yang sama dengan knowledge.[3] Dalam keterangan lain menyatakan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).[4] Pengetahuan merupakan berbagi gejala yang diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan merupakan refleksi dari apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.[5]
            Berawal dari pengamatan  yang ditindak lanjuti  penelitian yang sistematis dengan melalui metode-metode ilmiah tertentu, pengetahuan akan menjelma menjadi  sebuah ilmu (science). Sebagaimana ungkapan Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan “ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik dan keempatnya serentak”. Lebih lanjut, Ashley Montagun, guru besar antropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa “ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengalaman studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji”.[6]
            Dengan melihat berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan sebuah pengetahuan yang tersusun dalam satu sistem berasal dari pengalaman studi dan percobaan yang bersifat empiris, rasional, umum dan sistematik. Dan ilmu juga didalamnya mengandung adanya pengetahuan yang pasti, praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai obyek studi yang bersifat fisis (natural).[7]

Ilmu dan Nilai
            Sebagaimana penjelasan di atas bahwa ilmu (science) merupakan hasil dari pengetahuan yang ditindak lanjuti secara empiris, sistematis dan bersifat rasional. Ilmu atau yang selanjutnya disebut dengan ilmu pengetahuan merupakan salah satu komponen kehidupan yang penting bagi manusia. Dengan ilmu pengetahuan, kebutuhan manusia akan sesuatu menjadi lebih mudah dan cepat terpenuhi. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam sejarah kehidupan manusia sagat bergantung pada ilmu pengetahuan.
            Ilmu pengetahuan telah banyak turut campur dalam merubah wajah kehidupan manusia, sebut saja dalam hal pemberantasan penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai fasilitas lain seperti alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Namun disadari ataupun tidak, manusia dihadapkan pada sebuah pertanyaan “apakah ilmu pengetahuan selamanya menjadi berkah bagi kehidupan manusia ?”, yang harus segera mendapatkan jawabannya.
            Mengenai hal ini kemudian muncul filsafat nilai atau dikenal dengan istilah aksiologi. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.[8]  Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[9]
            Dalam aksiologi mengacu dua nilai, yaitu etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia atau lebih tepat mengenai norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia detinjau dari segi baik dan tidak baik dalam kondisi normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan terhadap fenomena disekelilingnya.
            Dihadapkan dengan masalah nilai dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi modern yang bersifat merusak, para ilmuwan dibagi menjadi dua kelompok besar. Golongan pertama, menyatakan bahwa ilmu harus tetap bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Ilmuwan hanya terfokus pada bagaimana mendapatkan pengetahuan baru dan terserah orang lain menggunakannya. Rupanya golongan ini melanjutkan tradisi kenetralan ilmu yang bebas nilai secara total, seperti era Galileo. Golongan ke dua mengatakan bahwa netralitas ilmu hanya sebatas metafisis keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai moral.[10]
           


Tolak Ukur Kebenaran Ilmiah
            Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.

1.        Teori Korespondensi
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Korespondensi merupakan teori kebenaran yang paling diterima secara luas oleh kelompok realis.[11] Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[12]
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[13] Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “Iain Sunan Ampel terletak di Surabaya” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni Iain Sunan Ampel memang benar-benar berada di Surabaya. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “Iain Sunan Ampel berada di Jakarta” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “Iain Sunan Ampel bukan berada di Jakarta melainkan di Surabaya”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena itu kekeliruan tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.[14]

2.        Teori Koherensi
Berdasarkan teori koherensi ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[15] Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.[16]
Mengenai teori konsistensi ini dapat diketahui: pertama, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan yang sudah diketahui, diterima, dan diakui sebagai kebenaran. Kedua, agaknya teori ini dapat disebut dengan teori penyaksian tentang sebuah kebenaran, karena dalam teori ini dikenal suatu putusan dianggap benar apabila mendapat pembenaran-pembenaran dari putsan-putusan yang terlebih dahulu diketahui, diterima, dan diakui sebagai sebuah kebenaran.
   Dengan demikian, sebuah teori dianggap benar apabila tahan uji (testable).  Artinya, sebuah teori yang telah dicetuskan seseorang dan kemudian teori tersebut dikemudian hari diuji oleh orang lain, tentunya dengan mengkomparasikan dengan data-data temuan terbaru. Sehingga, apabila teori lama bertentangan dengan temuan-temuan baru, secara otomatis teori pertama akan gugur (refutability). Sebaliknya, apabila data terbaru tersebut cocok, maka teori lama akan semakin kuat.[17]

3.        Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.[18]
Pragmatisme[19] menentang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan.[20] Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.[21]
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.[22] Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Dari teori ini dapat diberikan sebuah contoh pandangan para penganut teori pragmatis tentang Tuhan. Bagi pragmatisme, sebuah agama itu benar bukan karena adanya unsur Tuhan yang disembah oleh penganut agama tersebut sungguh-sungguh ada, tetapi agama tersebut dianggap benar karena pengaruhnya yang positif terhadap kehidupan manusia, berkat kepercayaan terhadap Tuhan maka kehidupan manusia menjadi tertib dan tenang jiwanya. Kemudian dalam dunia sains, suatu ilmu itu bermanfaat atau tidak bagi manusia. Ilmu botani dianggap benar oleh para petani karena mendatangkan manfaat, tetapi belum tentu bagi pedagang, ekonom, politikus dan sebagainya.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan dari pada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. Kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.[23]

Etika Keilmuan
            Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, antara yang baik dan menghindari yang buruk dari perilaku keilmuannnya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mampu mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya.
            Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang baik dan buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Kriteria yang dipakai adalah bahwa nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang. Ia akan bergabung pada nilai yang telah ada, seperti nilai agama, hukum, budaya dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik atau sebaliknya dari sudut etis, begitu pula hal ini berlaku bagi seorang ilmuwan.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, baik berupa teknologi maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, haruslah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini artinya ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak lagi bebas nilai, karena sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas yang siap menilai dan mengujinya.[24]

Kesimpulan
1.        Pengetahuan (knowledge) merupakan berbagi gejala yang diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan merupakan refleksi dari apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.
2.        Ilmu (science) merupakan sebuah pengetahuan yang tersusun dalam satu sistem berasal dari pengalaman studi dan percobaan yang bersifat empiris, rasional, umum dan sistematik.
3.        Aksiologi atau filsafat nilai merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Etika menilai perbuatan manusia atau lebih tepat mengenai norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia detinjau dari segi baik dan tidak baik dalam kondisi normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan terhadap fenomena disekelilingnya.
4.        Teori kebenaran dibagi menjadi tiga:
-          Korespondensi:  proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yag diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Dengan kata lain kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang selaras dengan realitas, yang serasi (correspondens) dengan situasi aktual.
-          Koherensi: kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan relitas atau fakta. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas putusan-putusan lainnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu.
-          Pragmatisme: kebenaran didasarkan pada asas kemanfaatan. Sebuah teori atau apapun itu baru dikatakan benar apabila mendatangkan manfaat atau kebaikan bagi kehidupan manusia, begitu pula sebaliknya, tidak akan dikatakan benar bila tidak mendatangkan manfaat.
5.        Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang baik dan buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.

Daftar Kepustakaan
Amin, Miska Muhammad. Epistemologi Islam. Jakarta: UI Press. 1983.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia. 1983.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. 1992.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta: Kanisius. 1980.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002.

Salam, Burhanuddin. Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta. 1997.

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2005.

Sumiasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarata: Pustaka Sinar Harapan. 1990.

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.

Titus, Harold H. Living Issues in Philasophy. terj. H. M. Rasyidi. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.


[1] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 47.
[2] Ilmu berarti pengetahuan. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
[3] Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam  (Jakarta: UI Press, 1983), 3.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 85.
[5] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 4.
[6] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 15.
[7] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), 74.
[8] Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), 168.
[9] Jujun S. Sumiasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990), 234.
[10] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 169.
[11] Berkaitan dengan teori ini, ada beberapa hal yang perlu dicatat, yaitu: pertama, teori ini sangat ditekankan oleh aliran empirisisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Maka, teori ini sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Sehubungan dengan itu, teori ini lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subjek dan objek, antara si pengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualitas tersebut, teori ini lalu menekankan pentingnya objek bagi kebenaran pengetahuan manusia. Bahkan bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengatahuan manusia adalah objek. Subjek atau akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh objek. Ketiga, teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi. Bukti ini bukan konstruksi akal budi, bukan hasil imajinasinya, melainkan adalah apa yang disodorkan oleh objek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya jika apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai kenyataan sebagaimana diungkapnya. Maka, yang disebut sebagai pembuktian atau justifikasi adalah proses menyodorkan fakta yang mendukung suatu proposisi atau hipotesis. Persoalan yang muncul sehubungan dengan teori ini adalah bahwa semua pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak didukung oleh bukti empiris, oleh kenyataan faktual apapun, tidak akan dianggap benar. Jadi mislanya, “ada Tuhan Yang Maha Kuasa” tidak dianggap sebagai suatu kebenaran jika tidak didukung oleh bukti empiris tertentu. karena itu, pernyataan tersebut bukanlah pengetahuan, melainkan keyakinan.
[12] Titus, Harold H., Living Issues in Philasophy, terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 237.
[13] Jujun, Filsafat Ilmu, 57.
[14] Ibid., 337.
[15] Ibid., 55.
[16] Dianut oleh kaum rasionalis. Kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. maka suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis dianggap benar jika proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Sebagai contoh riil, adalah ungkapan, “Lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. Bagi kaum empiris yang menganut kebenaran sebagai persesuaian, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, perlu diadakan percobaan dengan memasukkkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih, untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Bagi kaum rasionalis, yang menganut kebenaran sesuai keteguhan, untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu, kita cukup mengecek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya. Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan itu benar karena lilin terbuat dari bahan parafin, dan parafin selalu mencair pada suhu 60 derajat Celcius. Karena arti “mendidih” ada pada suhu 100 derajat Celcius, maka dengan sendirinya lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih. “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parifin yang selalu mencair pada suhu 60 derajat Celcius, dan juga sejalan dengan pernyataan lain bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Dengan kata lain, pernyataan “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan tadi. Hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain. Ada pernyataan, “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. Timbul pertanyaan, “Mengapa?” atau “Bagaimana anda tahu?” Kaum empiris akan mengatakan: “Coba saja, dan buktikan apakah benar atau tidak”. Kaum rasionalis akan menjawab: “Mudah saja. Lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mendidih pada suhu 60 derajat Celcius. Air baru mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Maka kesimpulan logisnya: “Lilin pasti dengan sendirinya akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”
[17] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1983), 73.
[18] Jujun, Filsafat Ilmu, 57.
[19] Teori pragmatis tentang kebenaran ini dikembangkan dan dianut oleh para pilosof pragmatis dari Amerika seperti Charles Sanders Pierce dan William James. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang berdasarkan ide itu melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
[20] Titus, Philasophy, 241.
[21] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 130.
[22] Jujun, Filsafat Ilmu, 59.
[23] Titus, Philasophy, 245.
[24] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 171.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar