SEJARAH
PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH (80 H-150 H):
Pola
Pemikiran dan Dasar-Dasar Istinbat Hukumnya
MUHAMMAD
ISMUL ABDI[1]
Pendahuluan
Masa
Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
‘’the golden age”. Pada masa itu umat Islam telah mencapai puncak
kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban maupun kekuasaan. Selain itu
juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena ini kemudian
melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi
baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam sejarah hukum
Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqh yang panji-panjinya dibawa
oleh tokoh-tokoh fiqh agung
yang berjasa mengintegrasikan fiqh
Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi
setiap ulama fiqh sampai
sekarang.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh
generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin
(anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakar dan
melembaganya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat
perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang
akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat
(penetapan) hukum.[2]
Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu
Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada
masa kekhalifahan Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu
Hanifah, karena salah satu anaknya yang bernama Hanifah. Menurut riwayat lain
beliau bergelar Abu Hanifah, karena begitu taatnya dalam beribadah kepada Allah.[3]
Ada juga yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman
dengan tinta.[4]
Imam Abu Hanifah dikatakan banyak belajar berbagai Ilmu fiqh,
tafsir, hadis dan tauhid dari para ulama yang alim. Diantara ulama yang menjadi
gurunya selain Imam Hammad
ibn Sulayman ialah ‘At}a>’
ibn Abi Ribah, Hisha>m ibn ‘Urwah, dan Na>fi’ ibn ‘Umar.[5] Beliau
juga berkesempatan menimba ilmu dari beberapa orang sahabat Nabi SAW yang masih
hidup, seperti ‘Abdullah
ibn Mas'u>d, Abdullah ibn Abi> Aufa> dan Sahal bin Sa’ad.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang
ahli ibadah. Dalam bidang fiqh
beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan
banyak belajar pada ulama-ulama tâbi’in, seperti Atha bin Abi Rabah
dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Imam
Abu Hanifah wafat dalam bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dalam usia 70 tahun
pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al Mans}u>r, khalifah Abbasiyah yang kedua dan
dimakamkan di kota Baghdad.
Dunia
Pendidikan Abu Hanifah
Kondisi lingkungan memang lebih mendorong
terciptanya sifat, sikap dan prilaku serta karakter seseorang. Begitupun Abu
Hanifah yang hidup di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya berbudaya
menghafal dan membaca al-Qur’an, sehingga pada usia enam tahun ia telah hatam dalam
menghafal al-Qur’an dengan bermazhab pada Imam ‘A>s}im, salah satu ulama dalam qira>’ah sab’ah.[6]
Hafalannya itu dilakukan disela-sela ia berjualan di pasar untuk membantu orang
tuanya.[7]
Selanjutnya
ia belajar ilmu gramatika arab yang disebut dengan ilmu nahwu shorf, di
dalamnya membahas pokok-pokok kalimat dalam bentuk kaidah yang tersusun dan
lebih bersifat sima>’i. Pastinya peran akal dan ra’yu
setidaknya dikesampingkan sementara. Keadaan ini tidak sesuai dengan karakter
Abu Hanifah yang sejak kecil sudah cerdas dan selalu mendayagunakan akal. Oleh
sebab itu ia berpindah untuk mendalami dua ilmu secara bersamaan, yakni ilmu
fiqh dan ilmu kalam.[8]
Keinginan
Abu Hanifah untuk mendalami ilmu, yang sebelumnya hanya sebatas pengetahuan,
berawal dari pertemuannya dengan Imam Shu’abi. Imam Shu’abi melihat potensi yang ada
dalam diri Abu Hanifah, namun sayangnya ia harus tersibukkan dengan urusan
dagang. Akhirnya Imam Syu’abi memberikan saran agar ia menggeluti dunia
keilmuan Islam tanpa harus meninggalkan urusan dagang.[9]
Ternyata saran tersebut benar-benar didengar oleh Abu Hanifah, akhirnya ia
mencoba untuk mendalami berbagai ilmu pada beberapa guru, diantaranya Hammad
ibnu Abi Sulaiman al-Ash’ari,
Zaid ibnu Ali Ibnu Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir Zainal Abidin, Ja’far
al-Shadiq, Abdullah ibnu al-Hasan Ibnu al-Hasan, Jabir Ibnu Yazid al-Ju’fi,
Ibrahim al-Nakha’i,
Imam al-Shu’abi,
dll. Sekalipun ia banyak belajar pada ulama’, namun yang paling berpengaruh
dalam pemikirannya adalah Hammad ibnu Abi Sulaiman al-Ash’ari seorang ahli fiqh daerah
kufah, karena lamanya ia belajar padanya sekitar 40 tahun, sejak usianya 22 tahun.
Ia belajar fiqh dan hadis pada imam Hammad, sekalipun di waktu bersamaan ia
juga belajar fiqh pada Ibrahim al-Nakha’i dan Imam al-Shu’abi.[10]
Pemikiran Abu
Hanifah
Melihat
sejarah hidup Abu Hanifah[11],
ketertarikannya terhadap ilmu merupakan kunci kesuksesannya dalam memberi
pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran ilmu keislaman, terutama mengenai ilmu
hukum Islam. Sekalipun ia terkenal sebagai ahli hukum Islam (faqi>h :
mujtahid), ia juga ahli di bidang aqidah (ilmu kalam) dan ilmu tasawuf.
1. Bidang
Ilmu Kalam
Ilmu yang pertama kali dikuasai
oleh Abu hanifah adalah ilmu kalam, akibat dari kehidupannya yang diliputi
masyarakat ahli ilmu kalam. Seiring dengan penggunaan akal dalam wilayah ilmu
kalam, keahlian ra’yu yang dimiliki Abu Hanifah menjadi identik pada dirinya
sampai dalam taraf ilmu fiqh sekalipun pun.
Beberapa pandangan Abu Hanifah dalam wilayah ilmu kalam:
a.
Tentang Iman
Imam Abu Hanifah
mengawali kehiduan intelektualnya dalam bidang ilmu kalam (teologi), dengan
mengembara ke Basrah, yang menjadi pusat aliran teologi pada saat itu. Abu Hanifah
mendefinisikan iman sebagai pengakuan (iqra>r) dengan lisan dan pembenaran (tas}di>q) dengan hati. Dan ia memahami Islam sebagai
penyerahan diri dan tunduk terhadap perintah dan hukum Allah. Dari segi
istilah, iman dan Islam memang berbeda, tetapi keduanya ibarat dua sisi mata
uang. Seseorang tidak bisa disebut mukmin tan pa disertai dengan Islam,
sebaliknya, tidak disebut seorang muslim kalau tidak beriman. Dengan demikian,
iman bukan sekedar pengakuan dengan hati, ataupun dengan ucapan saja, namun
harus disertai dengan penyerahan diri sepenuhnya.
Abu Hanifah
menolak pandangan kaum Khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar
dianggap kafir dan harus dikeluarkan dari komunitas muslim. Menurutnya, pelaku
dosa besar tetaplah seorang mukmin. Dalam kitab Fiqh al-Akbar, secara eksplisit
ia menyatakan bahwa iman tidak bisa dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian, dan
iman tidak bisa bertambah ataupun berkurang. Walaupun pada akhirnya ia
menghargai bahwa manusia bisa berbeda dalam perilaku dan aktifitas.[12]
b. Tentang
Pelaku Dosa
Statemen Abu Hanifah dalam
menyikapi pelaku dosa besar termaktub dalam kitab Fiqh al-Akbar, bahwa seorang
muslim tidak akan menjadi kufur karena melakukan dosa, sekalipun dosa besar,
selama ia tidak menghalalkan hal tersebut. Dan tidak akan menghilangkan iman
seseorang. Perbedaan Pendapat Abu Hanifah dengan Murji’ah adalah, jika Abu
Hanifah menyatakan bahwa amal baik tidak yang tidak memiliki cacat amal
merupakan amal yang tidak akan dihapus dengan kekufuran dan kemurtadan selama
ia mati dalam keadaan mu’min karena Allah tidak akan menyia-nyiakan amal
manusia dan pasti akan dibalas kebaikannya. Sedangkan masalah ia akan di siksa
atau diberi pahala adalah urusan Allah. Adapun Murji’ah mengatakan bahwa
Seorang mukmin tidak akan dibahayakan oleh dosa, ia tidak akan masuk neraka
walaupun ia hidupnya fasiq sampai mati dalam keadaan iman, dosanya pasti di
ampuni dan amalnya pasti diterima.[13]
c.
Tentang Qadar dan Perbuatan
manusia
Abu Hanifah
memahami qad}a>’ sebagai ketetapan
Allah dengan wahyu-Nya dan qadar adalah sesuatu peristiwa
terjadi atas kekuasaan-Nya
sebelum ciptaan itu terjadi. Ia menolak pandangan Mu’tazilah dan Murji’ah yang
meyakini bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat. Menurutnya, tidak ada
perbuatan manusia yang terjadi tanpa kehendak Allah. Akan tetapi, patuh dan
tidaknya manusia kepada Allah, tergantung kehendaknya sendiri. Artinya, apa
yang terjadi pada diri manusia tidak sepenuhnya ketentuan Allah secara mutlak,
karena Dia memberi pilihan dan kehendak kepada manusia. Abu Hanifah juga tidak
sependapat dengan pandangan kaum Jabariyah yang menganggap bahwa segala
perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah, manusia tidak mempunyai andil
sama sekali.
Pandangan
Abu Hanifah
mengenai permasalahan kebebasan berkehendak, tidak jauh berbeda dengan al-Asy’ari,
hanya saja Al-Asy’ari menggunakan istilah kasab dan ikhtiar untuk menyebut
tindakan manusia, sedangkan Abu Hanifah
menggunakan istilah ikhtiar dan iradah.
d.
Tentang Khalq al-Qur’an
Menyangkut
permasalahan al-Qur’an, pandangan Imam
Abu Hanifah lebih dekat dengan Imam Ahmad bin Hambal, yang
menyatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Hal ini
bertentangan dengan pandangan kaum Mu’tazilah yang menganggap al-Qur’an sebagai
makhluk. Ia berusaha untuk mengukuhkan superioritas al-Qur’an atas segala
bentuk pemiiran dan pengetahuan manusia. Namun ia juga mengemukakan nilai
filosofi mengenai esensi dan eksistensi al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa setiap
penyalinan al-Qur’an adalah makhluk. Jadi tidaklah benar pendapat yang
menyatakan bahwa Abu
Hanifah adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa al-Qur’an
adalah makhluk.[14]
2.
Ilmu Hukum Islam
Ushul fiqh
sebagai sebuah ilmu yang membahas cara beristimbath hukum memiliki beberapa
teori dan objek kajian yang didalamnya terdapat beberapa pembahasan mengenai
masalah sumber hukum Islam. Beberapa
pandangan Abu Hanifah mengenai hal yang berhubungan dengan ilmu Ushul Fiqh:
a.
Sumber
Hukum Islam
Sumber
hukum yang diakui dan dianut dalam pemikiran Hukum Abu Hanifah dapat diketahui
dari ungkapannya:
آخذ بكتاب الله فما
لم أجد فبسنة رسول الله فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول الله أخذت بقول أصحابه
آخذ بقول من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم وأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم
والشعبي ومسروق والحسن وعطاء وابن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فأجتهد كما اجتهدوا.[15]
“Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika
tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw
yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat, saya ambil
yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudaian saya
tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung
pada Ibrahim, Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyib (karena
beliau menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana
mereka berijtihad”.
Bertolak dari ungkapan beliau dapat
diketahui ada sekitar 7 us}u>l al-istinbat} yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: al-Qur’an, sunnah,
ijma’[16], perkataan
shahabat[17],
qiyas[18], istihsan[19] dan
‘urf (adat)[20].
b. Kedudukan
Hadis Ahad dengan Qiyas
Pada prinsipnya, Abu Hanifah,
selama tidak ada yang melemahkan hadis, maka ia akan tetap berpedoman pada
hadis, sekalipun itu hadis ahad. Hal ini diperkuat dengan ungkapan “seandainya tidak terdapat
riwayat (hadis) maka aku akan berpendapat degan qiyas” (لولا الرواية لقلت
بالقياس).[21]
Namun para pemerhati Abu Hanifah dibingungkan dengan keadaan di mana Abu
Hanifah pernah memberikan hukum dengan qiyas walaupun terdapat riwayat mengenai
hukum tersebut. Namun akhirnya Ibnu Aban dan Fachr al-Islam menyatakan bahwa
pertimbangan yang dilakukan Abu Hanifah adalah karena melihat keadaan
perowinya. Jika rowinya dianggap tidak tsiqah, adil dan faqih, maka qiyas
didahulukan dari pada hadis ahad tersebut.[22]
c. Kedudukan
Hadis
Mursal
Hadis mursal menurut Istilah
ahli hadis adalah hadis yang sanadnya hanya sampai pada tabi’in. Sedangkan
menurut ahli fiqh adalah hadis yang sanadnya terputus (munqati’).[23]
Menurut Abu hanifah, hadis mursal selama kemursalannya sebatas mursal tabi’ al-Tabi’in, bukan mursal tabi’in,
maka dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
d.
Kedudukan Qiyas
Imam Abu Hanifah mengatakan:
“Kami, pertama-tama, akan mengambil
Kitabullah, al-Sunnah, lalu keputusan sahabat, serta melakukan apa yang mereka
sepakati. Kalau mereka berselisih, kami akan menganalogikan satu hukum pada
hukum lain, dengan melihat persamaan ‘illat di antara kedua masalah
tersebut, sampai maknanya benar-benar jelas”.[24]
Dari sini dapat diketahui bahwa, dominasi ra’yu dalam
pemikiran Abu Hanifah memiliki konsekuensi atas lahirnya konsep qiyas.
Keteguhan memegangi teks al-Qur’an yang universal, hadis/sunnah dan ijma’ yang
keduanya hanya menyikapi masalah yang telah terjadi saja, maka kebutuhan untuk
menyelesaikan masalah hukum kontemporer yang tidak ada penjelasannya secara
jelas di dalam ketiga sumber hukum tersebut, maka Abu Hanifah merasa perlu
untuk menggunakan ra’yu dalam menyelesaikannya. Salah satunya melalui konsep
qiyas. Selain itu, munculnya konsep qiyas karena hadis yang sampai di Irak pada
saat itu lebih sedikit dibanding yang ada di Madinah, sehingga ulama Iraq pada
saat itu lebih cenderung pada penggunaan akal/ra’yu.
Kaidah Istih}sa>n
Istih}sa>n menurut bahasa berarti “menganggap baik”.[25] Istih}sa>n secara bahasa adalah kata bentukan (mushtaq) dari al-H}asan (apapun yang baik dari sesuatu). Istih}sa>n sendiri kemudian berarti “kecenderungan
seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat
lahiriah (h}issy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang
lain”.[26]
Secara istilah, istihsān dapat diartikan sebagai dalil yang terbetik
dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[27]
A. Pengertian Istih}san
1.
Dalam Us}u>l
Fiqh Hanafiyah
Abu Hanifah banyak menetapakan hukum dengan istih}sa>n tetapi tidak pernah
menjelaskan bagaimana maksud dari pada istih}sa>n itu. Ketika menetapkan
suatu hukum dengan cara istih}sa>n, Abu Hanifah mengatakan “astah}sin”,[28]artinya saya menganggap
baik. Penetapan hukum dengan istih}sa>n itu diikuti pula oleh para
sahabat dan pengikutnya. Sehingga dalam lintasan Sejarah us}u>l
fiqh, golongan Hanafiyah
dikenal sebagai golongan yang memakai istih}sa>n sebagai salah satu metode istinbath hukum. Oleh karena itu,
bisa kita pahami, pengertian istih}sa>n dalam us}u>l
fiqh Hanafi dirumuskan oleh
para pengikut dan murid Abu Hanifah dikemudian hari, setelah Abu Hanifah tiada.
Hal ini barangkali disebabkan banyaknya kritikan yang diarahkan kepada mereka,
karena berpegang kepada istih}sa>n, bahkan ada yang mencela
dan meragukan Abu Hanifah sebagai orang yang wara’. Setelah munculnya
kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan
pengertian dan rumusan istih}sa>n yang banyak dilakukan oleh
Imam mereka. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya istih}sa>n itu tidak keluar dari
dalil-dalil syara’.
Dengan begitu, sebagian ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan istih}sa>n ialah qiyas yang wajib
beramal dengannya, karena ‘illatnya didasarkan pada pengaruh hukumnya. ‘Illat
yang mempunyai pengaruh hukum yang lemah mereka namakan dengan qiyas dan yang
mempunyai pengaruh hukum yang kuat dinamakan dengan istih}sa>n. Istih}sa>n ini seolah-olah satu macam
cara beramal dengan salah satu qiyas yang paling kuat dan ini disimpulkan dari
penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam istih}sa>n menurut
ketentuan-ketentuan fikih mereka.
Ibnu al-‘Arabi[29] mendefinisikan istih}sa>n, sebagai: beramal dengan
dalil yang paling kuat di antara dua dalil. Menurut al-Karkhi, yang
dimaksud dengan istih}sa>n ialah berpaling seorang
mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada
hukum yang lain, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama yang
menghendaki perpalingan tersebut.[30] Menurut Abu Zahrah,[31] definisi istih}sa>n menurut al-Karkhi ini
merupakan definisi yang paling jelas menggambarkan hakikat istih}sa>n golongan Hanafiyah. Karena
definisi ini mencakup semua jenis istihsān dan menunjukkan kepada asas
serta isinya, sebab asas istih}sa>n itu adalah penetapan hukum
yang berbeda dengan kaidah umum, karena ada sesuatu yang menjadikan keluar dari
kaidah umum itu dapat menghasilkan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan
kehendak syara’ dari pada tetap berpegang kepada kaidah itu. Maka berpegang
pada istih}sa>n merupakan cara penetapan
hukum yang lebih kuat dalam masalah tersebut daripada berpegang kepada qiyas,
supaya kita tidak tenggelam dalam ketentuan qiyas yang pada satu kali
menghasilkan ketentuan hukum yang kurang sesuai dengan jiwa dan maqa>s}id
shari>’ah.
Sementara al-Sarakhsi, seorang ulama terkemuka,
sebagaimana yang dikutip Iskandar Usman dari kitabnya, al-Mabsu>t}, mengatakan, istih}sa>n pada hakikatnya adalah dua
macam qiyas. Yang pertama, qiyas yang jelas (qiyas ja>li>) tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syari’at, lemah
dan ia dinamakan dengan qiyas. Sedangkan yang kedua adalah qiyas yang
tersembunyi (qiyas kha>fi>) yang mempunyai pengaruh yang kuat. Inilah yang dinamakan
istih}sa>n. Pengaruh yang lebih kuat
itulah yang menyebabkan istih}sa>n lebih diutamakan dari pada
qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istih}sa>n dari pada qiyas
semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan kepada kha>fi> atau jali>-nya (tersembunyi atau
jelasnya) bentuk qiyas.[32] Dengan berlandaskan
pengertian itu dapatlah kita pahami pada dasarnya istih}sa>n itu belum keluar dari
empat sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama.
2.
Dalam Us}u>l
Fiqh Sha>fi’i
Istih}sa>n dalam pemahaman Imam Shafi’i, sebagaimana
ucapannya dalam al-Risa>lah, dapat kita simpulkan adalah pendapat yang tidak bersandar kepada keterangan
(al-khabar) dari salah satu dari empat dalil syara’, yaitu al-Qur’an,
sunnah, ijma’, dan qiyas. Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan
hukum itu tidak diambil dari al-khabar itu secara lafadz dan juga tidak
diambil dari logikanya secara qiyas, serta tidak ada ijma’ pada hukum tersebut,
maka fatwa tersebut dinamakan istih}sa>n karena tidak bersandarkan kepada al-khabar baik secara langsung
kepada nas maupun secara istinba>t}. Fatwa ini hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya dan dengan
kecenderungan perasaannya, tanpa berdalih kepada suatu al-khabar dan
tanpa mempertanggungkan kepada al-khabar itu. Menurut pendapat dan
pemahaman Imam Shafi’i[33],
haram bagi seseorang berpendapat dengan istih}sa>n, apabila istih}sa>n itu bertentangan dengan al-khabar. Dan al-khabar,
yang terdiri atas kitab dan sunnah, adalah sesuatu yang berharga yang
diteliti maknanya oleh mujtahid untuk memperoleh pengertiannya yang benar.
Dengan demikian, setidaknya ada gambaran
yang jelas, bahwa Imam Shafi’i, menghubungkan (mengasosiasikan) istih}sa>n dengan semua fatwa yang tidak disandarkan kepada al-khabar,
baik secara langsung kepada nash maupun dengan cara menghubungkan kepada
nash dengan cara kias. Intinya, dalam pandangan Imam Shafi’i, istih}sa>n adalah pendapat yang tidak merujuk kepada al-Qur’an
atau sunnah atau ijma’ atau athar maupun qiyas.
Imam Shafi’i
dan Istih}san
Salah satu ungkapan Imam Shafi’i yang sangat masyhur seputar istih}sa>n adalah من
استحسن فقد شرع, yaitu “barang siapa yang melakukan istih}sa>n, maka ia telah membuat syari’at (baru)”.[34] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya
sebagai penetap syariat selain Allah.
Imam Shafi’i membatalkan dalil istih}sa>n, karena itu beliau menulis dalam pasal
tersendiri dalam kitabnya al-Umm dengan judul “Ibt}a>l
al-Istih}sa>n” (pembatalan dalil istih}sa>n). Bahkan al-Qa>d}i>
al-Baid}a>wi>, salah
seorang pengikut beliau yang menulis buku Minha>j al-Wus}u>l
ila> ‘Ilmi al-Us}u>l menempatkan istih}sa>n pada bab al-Adillah al-Mardu>dah.[35]
Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang
menunjukkan pengingkaran beliau terhadap istih}sa>n. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan,
Imam Shafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan
menggunakan istih}sa>n.[36]
Titik Temu
Pandangan al-Shafi’i dan Abu Hanifah
Melihat perbedaan-perbedaan pandangan di atas, sepintas kita akan melihat perbedaan
yang sangat krusial antara mereka. Tetapi kalau kita lihat kembali latar
belakang menjadikan istih}sa>n sebagai dalil dan sebab adanya
penolakan dari mazhab Shafi’i,
ternyata di sana ada persamaan yang
secara tidak langsung disepakati oleh kedua mazhab tersebut, yaitu mereka sepakat dengan cara
pengambilan hukum harus sesuai dengan dalil yang kuat. Baik itu dengan cara istih}sa>n
ataupun dengan cara lainnya. Karena ulama mazhab Hanafi pun sepakat, orang yang melakukan istih}sa>n
dengan hawa nafsunya atau tanpa ada dalil yang kuat bukan termasuk istih}sa>n
yang merupakan dalil pokok dalam pengambilan hukum.
Oleh karena itu, sebenarnya mereka berselisih dalam penamaan
istilah saja. Di mana ulama Shafi’i memandang cara-cara yang ada
dalam istih}sa>n itu, sudah terwakili oleh
dalil-dalil muttafaq ‘alaih,
sedangkan ulama mazhab Hanafi memiliki nama sendiri yaitu istih}sa>n.
Tetapi dengan adanya perbedaan ini, kita tidak lantas menyalahkan ulama Hanafiyah
dalam penamaan istih}sa>n. Karena inti dari bahasan istih}sa>n
itu adalah, berhujjah berdasarkan dalil atau tidak. Selain itu juga, rasanya
tidak masuk akal kalau seandainya Imam Hanafi yang sudah kita kenal sebagai
ulama mazhab bertindak ceroboh dalam menentukan suatu hukum. Karena itu, sejauh penelusuran penulis, belum pernah menemukan riwayat
dimana beliau, misalnya, mencela berbagai istih}sa>n yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah.
Perkembangan
Mazhab
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah, kemudian
tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi
merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini
dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India
dan Tiongkok.
Beberapa kitab Imam Abu Hanifah yang
dapat kita jumpai adalah: al-Fiqh al-Akbar dan al-‘A>lim wa al-Muta’allim. Sedangkan kitab-kitab fiqh mazhab Hanafi
dibedakan menjadi tiga bagian: al-Us}u>l,[37] al-Nawa>dir,[38]
dan al-Fatawa>.[39]
Kesimpulan
Mazhab
Hanafi dibangun oleh Imam al A’Zham Abu Hanifah, al-Nu’man bin Thabit bin
Zuwata al-Kufi. Dilahirkan pada tahun 80 H dan telah meniggal dunia pada tahun
150 H. Dasar istinbath hukumya menggunakan: al-Qur’an, hadis, fatwa sahabat,
ijma’, qiyas, istih}san, dan ‘urf.
Corak pola pikir Imam Abu Hanifah
lebih bersifat logis, hal ini dikarenakan beliau banyak belajar fiqh pada
ulama’ Irak, dan beliau dianggap representatif untuk mewakili pemikiran aliran ra’yu.
Dalam
menetapkan hukum Islam, Abu Hanifah selalu berpegang teguh pada nash al-Qur’an,
hadis,
dan ijma’ (qoul sahabat). Namun jika tidak ditemukan di dalam ketiga sumber
hukum tersebut, Abu Hanifah menggunakan ra’yu, yakni pengkomunikasian antara
subtansi kandungan nash, mashalahat umum dengan fakta empiris masyarakat,
sehingga qiyas, istih}sa>n
dan ‘urf merupakan dasar hukum yang juga dipegangi oleh Abu Hanifah.
Daftar Pustaka
Baghdadi (al), Ahmad ibn Ali Abu Bakar al-Khatib. Tarikh
Baghdad, XIV. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah. 1990.
Ghazaly (al), Abu Hamid
Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa> fi> ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1417 H.
Hasan, M. Ali. Perbandingan
Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002.
Hayder, Abdulloh. Mazhab Fiqh; Kedudukan dan Cara Menyikapinya. Riyadh:
King Fahd National Library. 2004.
Jazari (al), Syamsuddin Muhammad ibn Yusuf. Mi’ra>j al-Minha>j Sharh} Minha>j al-Wushu>l ila> ‘Ilm
al-Us}u>l li al-Qa>d}i> al-Baid}a>wi>. II. ttp: tp. 1993.
Khin (al), Mus}t}afa> Sa’id Atha>r al-Ikhtila>f fi>
al-Qawa>’id
al-Us}u>liyyah fi Ikhtila>f al-Fuqaha>’. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah. 1996.
Mubarak, Jaih. Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000.
Muhammad, Abu al-Fadhl. Lisan
al-‘Arab, Cet. I. Beirut: Dār Shadir. 1410 H.
Shafi’i (al). al-Risa>lah, Tahqiq Muhammad Sayid Kailani, Cet. I. Mesir: tp. 1969.
----------------. al-Umm (Beirut: Dār al-Fikr, tt.
Shalabi (al), Must}afa> Ta’li>l al-Ahka>m. Beirut:
Dār al-Nazah al-‘Arabiyah. 249 H.
Shirbashi (al), Ahmad. al-A’Immah
al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Hilal. tt.
Thahhan (al), Mahmud Taisir Mushtalah al-Hadits. Surabaya: al-Hidayah. tt.
Usman, Iskandar. Istihsan
dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1994.
Zahrah, Muh. Abu. Us}u>l al-Fiqh. Beirut: Da>r
al-Fikr al-‘Arabi. 1958.
----------------. Ushul al-Fiqh.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 2007.
Zuhaily (al), Wahbah. Us}u>l al-Fiqh
al-Isla>my, vol. 2. Damaskus: Dar al-Fikr. 1986.
[1]
Alumni Pascasarjana UINSA
(Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Shari’ah.
[2] Abdulloh Hayder, Mazhab Fiqh; Kedudukan
dan Cara Menyikapinya (Riyadh: King Fahd National Library,2004), 35.
[3]
Berasal dari kata hani>f,
yang berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Lihat: M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 185.
[4]
Hanifah dalam bahasa Irak berarti tinta. Lihat : Ibid., 185.
[5]
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 74.
[7]
Abu Hanifah lahir di
lingkungan pedagang kaya yang taaat. Oleh sebab itulah ia ahli berdagang, bahkan di masa muda ia
lebih cenderung untuk berdagang. Ia dikenal sebagai pedagang kain sutera dan
wol (bazzaz). Bahkan ia memiliki toko yang terkenal di kufah.
Ketaatannya terhadap agama menjadikannya sebagai pedagang yang jujur, tidak
pernah berbohong kepada pembeli, bahkan ia pasti menceritakan cacatnya barang
yang dijual jika terdapat cacat di dalamnya. Diceritakan bahwa Abu Hanifah
memiliki rekanan bisnis (syarik) yang bernama Hafsh Ibnu Abdul Rahman.
Suatu saat ia menjadikan Hafsh sebagai wakil dalam menjaga tokonya dengan
catatan ia harus mengutarakan cacat yang terdapat pada dagangannya. Tetapi sang
wakil lupa setalah terdapat sesorang membeli barang dagangan. Akhirnya Abu
Hanifah mencari pembeli tersebut namun tidak dapat ditemukan. Maka ia pun
menyedekahkan seluruh hasil penjualannya di hari itu. Lihat: Ahmad al-Shirbashi, al-A’Immah al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Hilal,
tt.),19.
[8] al-Shirbashi, al-A’Immah, 20.
[9]
Ibid., 20.
[10]
Ibid., 22.
[11] Pergolakan
Pemikiran dalam Islam mulai tumbuh pasca wafatnya Rasulullah SAW, dan mulai
meruncing setelah terjadinya Arbitrase (tahkim) pasca perang Shifin
tahun 37 H dengan munculnya Khawarij, Shi’ah dan Pendukung Mu’awiyah.
Justifikasi untuk membenarkan kelompok masing-masing dengan argumentasi dalil
dan rasio agama menjadi awal pergolakan pemikiran Islam. Di tengah pergolakan
pemikiran inilah lahir dua metode pemikiran, yakni metode naql yang
menitikberatkan teks al-Qur’an dan hadis yang lebih
didominasi masyarakat Mekkah dan Madinah, dan metode ‘aql dengan
menitikberatkan penggunaan akal dalam menentukan hukum dengan berpedoman pada nash
yang didominasi masyarakat luar Mekkah dan Madinah sebagai konsekwensi logis
dari letak geografis yang jauh dari pusat ilmu islam. Ditengah-tengah
masyarakat yang menggunakan metode ‘aql inilah lahir seorang ulama’
madzhab bernama Nu’ma>n bin Thabit di Kufah (80 H - 150 H). Kondisi sosio-cultural
ini membentuk pola pikir Imam Abu Hanifah di samping kecerdasan dasar yang
dimilikinya sehingga Abu Hanifah dikenal sebagai ahli ra’yu.
[12] Oleh karena itu, Ghasan
al-Murji’i al-Shahrastany dan al-Ash’ary mengklaim bahwa Abu Hanifah
termasuk golongan Murji’ah Ahlu al-Sunnah. Walaupun
Abu Hanifah
keberatan disebut dengan sebutan Murji’y. Prinsip dasar kata irja>’ menurut Abu Hanifah
adalah mengembalikan kepada Allah, mengenai urusan Utsman Dan Ali. Hal ini
sekaligus penolakan terhadap doktrin Khawarij tentang pengusiran pelaku dosa
besar dari komunitas muslim, yang berarti mereka menganggap bahwa Khalifah Uthman
adalah khalifah yang syah secara hukum. Abu Hanifah
juga menolak doktrin Syi’ah tentang superioritas Ali atas khalifah lainnya. Konsep iman dan irja>’ mampu
membantu mengatasi kegelisahan moral dimasyarakat, yang disebabkan pandangan
kaum Khawarij. Para pelaku dosa tetap memiliki harapan untuk masuk surga, jika
mereka mau bertobat. Pendapat Abu Hanifah ini selaras dengan pendapat para
ulama sesudahnya seperti al-Ash’ari.
[15]Ahmad ibn Ali Abu Bakar
al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Alamiyyah, 1990), Jilid XIV, 368.
[16] Ijma' menurut bahasa Arab
berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal. Menurut istilah ijma',
ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai
contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan
seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada
pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma'.
[17] Para sahabat menurut Imam
Hanafi adalah termasuk golongan orang-orang membantu menyampaikan risalah agama,
mereka lama bergaul dan dekat dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana
kaitan hadis Nabi dengan al-Qur’an.
Perkataan sahabat mendapat
posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah, karena menurutnya, mereka adalah
pembawa ajaran Rasul sepeninggalnya. Dengan demikian, pengetahuan dan
pernyataan keagamaan mereka lebih dekat dengan kebenaran. Oleh karena itu,
pernyataan hukum mereka dapat dikutip dan dijadikan pedoman dalam kehidupan
masyarakat. Lihat: Hasan, Perbandingan Mazhab, 189.
[18] Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ’illat antara
kedua kejadian atau peristiwa itu. Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa
yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nas yang dapat dijadikan dasar
untuk menetapkannya.
[19] Secara
etimologi istih}sa>n dari kata al-h}asan yang berarti sesuatu
yang baik. Dengan adanya huruf
tambahan hamzah, si>n dan ta>’, maknanya menjadi
menganggap baik sesuatu. Sedangkan secara terminologi, istih}sa>n memiliki
makna yang beragam.
Di antaranya:
الأخذ بمصلحة جزئية في
مقابلة دليل كلي
“Mengambil kemaslahatan
yang bersifat parsial
dan meninggalkan dalil yang bersifat umum (kully)”.
Lihat Mus}t}afa> Sa’id al-Khin, Atha>r
al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>’id al-Us}u>liyyah fi
Ikhtila>f al-Fuqaha>’, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah. 1996), 38. Bandingkan, Wahbah al-Zuhaily, Us}u>l al-Fiqh
al-Isla>my,
vol. 2 (Damaskus: Dar al-Fikr,
1986), 739.
[20] ‘Urf (adat kebiasaan) adalah segala sesuatu yang sudah
dikenal diantara manusia dan telah dibiasakan oleh mereka serta dijalankan
secara terus menerus baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Adat kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dapat digunakan sebagai hukum apabila tidak
bertentangan dengan dalil syara’. Lihat:
Hasan, Mazhab, 194.
Diantara contohnya adalah penggunaan kata walad
sebagai anak baik laki-laki maupun perempuan, selain itu dalam hal jual beli
cukup dengan serah terima barang dengan tanpa ucapan ijab qabul.
[21] Dominasi ra’yu dalam pemikiran Abu Hanifah memiliki
konsekuensi atas lahirnya konsep qiyas. Keteguhan memegangi teks al-Qur’an yang
universal, hadis/sunnah dan ijma’ yang keduanya hanya menyikapi masalah yang
telah terjadi saja, maka kebutuhan untuk menyelesaikan masalah hukum
kontemporer yang tidak ada penjelasannya secara jelas di dalam ketiga sumber
hukum tersebut, maka Abu Hanifah merasa perlu untuk menggunakan ra’yu dalam menyelesaikannya.
[27] Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaly, al-Mustashfa>
fi> ‘Ilm al-Us}u>l, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H),
138.
[32]
Usman, Istihsan, 45-46.
[35]
Syamsuddin Muhammad ibn Yusuf al-Jazari,
Mi’ra>j al-Minha>j Sharh} Minha>j al-Wushu>l
ila> ‘Ilm al-Us}u>l li al-Qa>d}i> al-Baid}a>wi>, II, (ttp: tp. 1993), 237.
-
Pandangan beliau seputar
penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri
yang telah diceraikan, demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa
takutnya yang diakibatkan perceraian itu. Sebagian fuqaha>’ mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan
dikembalikan pada ijtihad sang qa>d}i>. Ulama lain membatasinya
dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam Shafi’i
ber- istih}sa>n dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang
berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup
kepala bagi pria yang miskin.
-
Istih}sa>n beliau dalam perpanjangan waktu shuf’ah selama 3 hari. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya ini hanyalah istih}sa>n dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.
-
Istih}sa>n beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat
mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan, “Bagus jika ia (muadzin)
meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan)”.
Sepintas dari keterangan
dan contoh di atas, kelihatan adanya kontradiktif di dalamnya. Di satu sisi
terjadi pengingkaran, namun di sisi lain terdapat fakta penerapan Imam al-Shafi’i
terhadap istih}sa>n, namun jika dicermati
dengan seksama, maka sebenarnya hal ini semakin menegaskan bahwa istih}sa>n yang diingkari oleh Imam Shafi’i adalah istih}sa>n yang hanya
berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil shar’i.
[37]
Pendapat-pendapat yang dikemukakan
Imam Abu Hanifah dan sahabatnya.
[38]
Pendpat yang diriwayatkan dari Imam
Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam al-Us}u>l.
[39]
Pendapat pengikut Imam Abu Hanifah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar