Selamat Datang di http://abdymart.blogspot.com/

Jumat, 24 Januari 2014

SEJARAH PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH (80 H-150 H)



SEJARAH PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH (80 H-150 H):
Pola Pemikiran dan Dasar-Dasar Istinbat Hukumnya

MUHAMMAD ISMUL ABDI[1]


Pendahuluan
   Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’the golden age”. Pada masa itu umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban maupun kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena ini kemudian melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqh yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
Memasuki abad kedua Hijriah inilah yang menjadi era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Shafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi, baik dalam memahami nas al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nas.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari  menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum.[2]

Biografi Imam Abu Hanifah
            Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah, karena salah satu anaknya yang bernama Hanifah. Menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena begitu taatnya dalam beribadah kepada Allah.[3] Ada juga yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta.[4]
Imam Abu Hanifah dikatakan banyak belajar berbagai Ilmu fiqh, tafsir, hadis dan tauhid dari para ulama yang alim. Diantara ulama yang menjadi gurunya selain Imam Hammad ibn Sulayman ialah ‘At}a>’ ibn Abi Ribah, Hisha>m ibn ‘Urwah, dan Na>fi’ ibn ‘Umar.[5] Beliau juga berkesempatan menimba ilmu dari beberapa orang sahabat Nabi SAW yang masih hidup, seperti ‘Abdullah ibn Mas'u>d, Abdullah ibn Abi> Aufa> dan Sahal bin Sa’ad.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tâbi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Imam Abu Hanifah wafat dalam bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dalam usia 70 tahun pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al Mans}u>r, khalifah Abbasiyah yang kedua dan dimakamkan di kota Baghdad.

Dunia Pendidikan Abu Hanifah
   Kondisi lingkungan memang lebih mendorong terciptanya sifat, sikap dan prilaku serta karakter seseorang. Begitupun Abu Hanifah yang hidup di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya berbudaya menghafal dan membaca al-Qur’an, sehingga pada usia enam tahun ia telah hatam dalam menghafal al-Qur’an dengan bermazhab pada Imam A>s}im, salah satu ulama dalam qira>’ah sab’ah.[6] Hafalannya itu dilakukan disela-sela ia berjualan di pasar untuk membantu orang tuanya.[7]
Selanjutnya ia belajar ilmu gramatika arab yang disebut dengan ilmu nahwu shorf, di dalamnya membahas pokok-pokok kalimat dalam bentuk kaidah yang tersusun dan lebih bersifat sima>’i. Pastinya peran akal dan ra’yu setidaknya dikesampingkan sementara. Keadaan ini tidak sesuai dengan karakter Abu Hanifah yang sejak kecil sudah cerdas dan selalu mendayagunakan akal. Oleh sebab itu ia berpindah untuk mendalami dua ilmu secara bersamaan, yakni ilmu fiqh dan ilmu kalam.[8]
Keinginan Abu Hanifah untuk mendalami ilmu, yang sebelumnya hanya sebatas pengetahuan, berawal dari pertemuannya dengan Imam Shu’abi. Imam Shu’abi melihat potensi yang ada dalam diri Abu Hanifah, namun sayangnya ia harus tersibukkan dengan urusan dagang. Akhirnya Imam Syu’abi memberikan saran agar ia menggeluti dunia keilmuan Islam tanpa harus meninggalkan urusan dagang.[9] Ternyata saran tersebut benar-benar didengar oleh Abu Hanifah, akhirnya ia mencoba untuk mendalami berbagai ilmu pada beberapa guru, diantaranya Hammad ibnu Abi Sulaiman al-Ash’ari, Zaid ibnu Ali Ibnu Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir Zainal Abidin, Ja’far al-Shadiq, Abdullah ibnu al-Hasan Ibnu al-Hasan, Jabir Ibnu Yazid al-Ju’fi, Ibrahim al-Nakha’i, Imam al-Shu’abi, dll. Sekalipun ia banyak belajar pada ulama’, namun yang paling berpengaruh dalam pemikirannya adalah Hammad ibnu Abi Sulaiman al-Ash’ari seorang ahli fiqh daerah kufah, karena lamanya ia belajar padanya sekitar 40 tahun, sejak usianya 22 tahun. Ia belajar fiqh dan hadis pada imam Hammad, sekalipun di waktu bersamaan ia juga belajar fiqh pada Ibrahim al-Nakha’i dan Imam al-Shu’abi.[10]

Pemikiran Abu Hanifah
   Melihat sejarah hidup Abu Hanifah[11], ketertarikannya terhadap ilmu merupakan kunci kesuksesannya dalam memberi pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran ilmu keislaman, terutama mengenai ilmu hukum Islam. Sekalipun ia terkenal sebagai ahli hukum Islam (faqi>h : mujtahid), ia juga ahli di bidang aqidah (ilmu kalam) dan ilmu tasawuf.

1.     Bidang Ilmu Kalam
Ilmu yang pertama kali dikuasai oleh Abu hanifah adalah ilmu kalam, akibat dari kehidupannya yang diliputi masyarakat ahli ilmu kalam. Seiring dengan penggunaan akal dalam wilayah ilmu kalam, keahlian ra’yu yang dimiliki Abu Hanifah menjadi identik pada dirinya sampai dalam taraf ilmu fiqh sekalipun pun. Beberapa pandangan Abu Hanifah dalam wilayah ilmu kalam:

a.      Tentang Iman
Imam Abu Hanifah mengawali kehiduan intelektualnya dalam bidang ilmu kalam (teologi), dengan mengembara ke Basrah, yang menjadi pusat aliran teologi pada saat itu. Abu Hanifah mendefinisikan iman sebagai pengakuan (iqra>r) dengan lisan dan pembenaran (tas}di>q) dengan hati. Dan ia memahami Islam sebagai penyerahan diri dan tunduk terhadap perintah dan hukum Allah. Dari segi istilah, iman dan Islam memang berbeda, tetapi keduanya ibarat dua sisi mata uang. Seseorang tidak bisa disebut mukmin tan pa disertai dengan Islam, sebaliknya, tidak disebut seorang muslim kalau tidak beriman. Dengan demikian, iman bukan sekedar pengakuan dengan hati, ataupun dengan ucapan saja, namun harus disertai dengan penyerahan diri sepenuhnya.
Abu Hanifah menolak pandangan kaum Khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir dan harus dikeluarkan dari komunitas muslim. Menurutnya, pelaku dosa besar tetaplah seorang mukmin. Dalam kitab Fiqh al-Akbar, secara eksplisit ia menyatakan bahwa iman tidak bisa dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian, dan iman tidak bisa bertambah ataupun berkurang. Walaupun pada akhirnya ia menghargai bahwa manusia bisa berbeda dalam perilaku dan aktifitas.[12]

b.  Tentang Pelaku Dosa
Statemen Abu Hanifah dalam menyikapi pelaku dosa besar termaktub dalam kitab Fiqh al-Akbar, bahwa seorang muslim tidak akan menjadi kufur karena melakukan dosa, sekalipun dosa besar, selama ia tidak menghalalkan hal tersebut. Dan tidak akan menghilangkan iman seseorang. Perbedaan Pendapat Abu Hanifah dengan Murji’ah adalah, jika Abu Hanifah menyatakan bahwa amal baik tidak yang tidak memiliki cacat amal merupakan amal yang tidak akan dihapus dengan kekufuran dan kemurtadan selama ia mati dalam keadaan mu’min karena Allah tidak akan menyia-nyiakan amal manusia dan pasti akan dibalas kebaikannya. Sedangkan masalah ia akan di siksa atau diberi pahala adalah urusan Allah. Adapun Murji’ah mengatakan bahwa Seorang mukmin tidak akan dibahayakan oleh dosa, ia tidak akan masuk neraka walaupun ia hidupnya fasiq sampai mati dalam keadaan iman, dosanya pasti di ampuni dan amalnya pasti diterima.[13]

c.         Tentang Qadar dan Perbuatan manusia
Abu Hanifah memahami qad}a> sebagai ketetapan Allah dengan wahyu-Nya dan qadar adalah sesuatu peristiwa terjadi atas kekuasaan-Nya sebelum ciptaan itu terjadi. Ia menolak pandangan Mu’tazilah dan Murji’ah yang meyakini bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat. Menurutnya, tidak ada perbuatan manusia yang terjadi tanpa kehendak Allah. Akan tetapi, patuh dan tidaknya manusia kepada Allah, tergantung kehendaknya sendiri. Artinya, apa yang terjadi pada diri manusia tidak sepenuhnya ketentuan Allah secara mutlak, karena Dia memberi pilihan dan kehendak kepada manusia. Abu Hanifah juga tidak sependapat dengan pandangan kaum Jabariyah yang menganggap bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah, manusia tidak mempunyai andil sama sekali.
Pandangan Abu Hanifah mengenai permasalahan kebebasan berkehendak, tidak jauh berbeda dengan al-Asy’ari, hanya saja Al-Asy’ari menggunakan istilah kasab dan ikhtiar untuk menyebut tindakan manusia, sedangkan Abu Hanifah menggunakan istilah ikhtiar dan iradah.

d.        Tentang Khalq al-Qur’an
Menyangkut permasalahan al-Qur’an, pandangan Imam Abu Hanifah lebih dekat dengan Imam Ahmad bin Hambal, yang menyatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Hal ini bertentangan dengan pandangan kaum Mu’tazilah yang menganggap al-Qur’an sebagai makhluk. Ia berusaha untuk mengukuhkan superioritas al-Qur’an atas segala bentuk pemiiran dan pengetahuan manusia. Namun ia juga mengemukakan nilai filosofi mengenai esensi dan eksistensi al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa setiap penyalinan al-Qur’an adalah makhluk. Jadi tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa Abu Hanifah adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.[14]


2.        Ilmu Hukum Islam
Ushul fiqh sebagai sebuah ilmu yang membahas cara beristimbath hukum memiliki beberapa teori dan objek kajian yang didalamnya terdapat beberapa pembahasan mengenai masalah sumber hukum Islam. Beberapa pandangan Abu Hanifah mengenai hal yang berhubungan dengan ilmu Ushul Fiqh:

a.  Sumber Hukum Islam
Sumber hukum yang diakui dan dianut dalam pemikiran Hukum Abu Hanifah dapat diketahui dari ungkapannya:
آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول الله أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم وأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبي ومسروق والحسن وعطاء وابن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فأجتهد كما اجتهدوا.[15]
“Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat, saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudaian saya tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim, Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.

Bertolak dari ungkapan beliau dapat diketahui ada sekitar 7 us}u>l al-istinbat} yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: al-Qur’an, sunnah, ijma’[16], perkataan shahabat[17], qiyas[18], istihsan[19] dan ‘urf (adat)[20].

 b.    Kedudukan Hadis Ahad dengan Qiyas
Pada prinsipnya, Abu Hanifah, selama tidak ada yang melemahkan hadis, maka ia akan tetap berpedoman pada hadis, sekalipun itu hadis ahad. Hal ini diperkuat dengan ungkapan seandainya tidak terdapat riwayat (hadis) maka aku akan berpendapat degan qiyas (لولا الرواية لقلت بالقياس).[21] Namun para pemerhati Abu Hanifah dibingungkan dengan keadaan di mana Abu Hanifah pernah memberikan hukum dengan qiyas walaupun terdapat riwayat mengenai hukum tersebut. Namun akhirnya Ibnu Aban dan Fachr al-Islam menyatakan bahwa pertimbangan yang dilakukan Abu Hanifah adalah karena melihat keadaan perowinya. Jika rowinya dianggap tidak tsiqah, adil dan faqih, maka qiyas didahulukan dari pada hadis ahad tersebut.[22]

c.  Kedudukan Hadis Mursal
Hadis mursal menurut Istilah ahli hadis adalah hadis yang sanadnya hanya sampai pada tabi’in. Sedangkan menurut ahli fiqh adalah hadis yang sanadnya terputus (munqati’).[23] Menurut Abu hanifah, hadis mursal selama kemursalannya sebatas mursal tabi’ al-Tabi’in, bukan mursal tabi’in, maka dapat dijadikan sebagai dasar hukum.

d.   Kedudukan Qiyas
Imam Abu Hanifah mengatakan:
Kami, pertama-tama, akan mengambil Kitabullah, al-Sunnah, lalu keputusan sahabat, serta melakukan apa yang mereka sepakati. Kalau mereka berselisih, kami akan menganalogikan satu hukum pada hukum lain, dengan melihat persamaan ‘illat di antara kedua masalah tersebut, sampai maknanya benar-benar jelas.[24]

Dari sini dapat diketahui bahwa, dominasi ra’yu dalam pemikiran Abu Hanifah memiliki konsekuensi atas lahirnya konsep qiyas. Keteguhan memegangi teks al-Qur’an yang universal, hadis/sunnah dan ijma’ yang keduanya hanya menyikapi masalah yang telah terjadi saja, maka kebutuhan untuk menyelesaikan masalah hukum kontemporer yang tidak ada penjelasannya secara jelas di dalam ketiga sumber hukum tersebut, maka Abu Hanifah merasa perlu untuk menggunakan ra’yu dalam menyelesaikannya. Salah satunya melalui konsep qiyas. Selain itu, munculnya konsep qiyas karena hadis yang sampai di Irak pada saat itu lebih sedikit dibanding yang ada di Madinah, sehingga ulama Iraq pada saat itu lebih cenderung pada penggunaan akal/ra’yu.

Kaidah Istih}sa>n
Istih}sa>n menurut bahasa berarti “menganggap baik”.[25] Istih}sa>n secara bahasa adalah kata bentukan (mushtaq) dari al-H}asan (apapun yang baik dari sesuatu). Istih}sa>n sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (h}issy) ataupun maknawiah, meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain”.[26] Secara istilah, istihsān dapat diartikan sebagai dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[27]

A.      Pengertian Istih}san
1.    Dalam Us}u>l Fiqh Hanafiyah
Abu Hanifah banyak menetapakan hukum dengan istih}sa>n tetapi tidak pernah menjelaskan bagaimana maksud dari pada istih}sa>n itu. Ketika menetapkan suatu hukum dengan cara istih}sa>n, Abu Hanifah mengatakan “astah}sin”,[28]artinya saya menganggap baik. Penetapan hukum dengan istih}sa>n itu diikuti pula oleh para sahabat dan pengikutnya. Sehingga dalam lintasan Sejarah us}u>l fiqh, golongan Hanafiyah dikenal sebagai golongan yang memakai istih}sa>n sebagai salah satu metode istinbath hukum. Oleh karena itu, bisa kita pahami, pengertian istih}sa>n dalam us}u>l fiqh Hanafi dirumuskan oleh para pengikut dan murid Abu Hanifah dikemudian hari, setelah Abu Hanifah tiada. Hal ini barangkali disebabkan banyaknya kritikan yang diarahkan kepada mereka, karena berpegang kepada istih}sa>n, bahkan ada yang mencela dan meragukan Abu Hanifah sebagai orang yang wara’. Setelah munculnya kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istih}sa>n yang banyak dilakukan oleh Imam mereka. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya istih}sa>n itu tidak keluar dari dalil-dalil syara’.
Dengan begitu, sebagian ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istih}sa>n ialah qiyas yang wajib beramal dengannya, karena ‘illatnya didasarkan pada pengaruh hukumnya. ‘Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang lemah mereka namakan dengan qiyas dan yang mempunyai pengaruh hukum yang kuat dinamakan dengan istih}sa>n. Istih}sa>n ini seolah-olah satu macam cara beramal dengan salah satu qiyas yang paling kuat dan ini disimpulkan dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam istih}sa>n menurut ketentuan-ketentuan fikih mereka.
Ibnu al-‘Arabi[29] mendefinisikan istih}sa>n, sebagai: beramal dengan dalil yang paling kuat di antara dua dalil. Menurut al-Karkhi, yang dimaksud dengan istih}sa>n ialah berpaling seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan tersebut.[30] Menurut Abu Zahrah,[31] definisi istih}sa>n menurut al-Karkhi ini merupakan definisi yang paling jelas menggambarkan hakikat istih}sa>n golongan Hanafiyah. Karena definisi ini mencakup semua jenis istihsān dan menunjukkan kepada asas serta isinya, sebab asas istih}sa>n itu adalah penetapan hukum yang berbeda dengan kaidah umum, karena ada sesuatu yang menjadikan keluar dari kaidah umum itu dapat menghasilkan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan kehendak syara’ dari pada tetap berpegang kepada kaidah itu. Maka berpegang pada istih}sa>n merupakan cara penetapan hukum yang lebih kuat dalam masalah tersebut daripada berpegang kepada qiyas, supaya kita tidak tenggelam dalam ketentuan qiyas yang pada satu kali menghasilkan ketentuan hukum yang kurang sesuai dengan jiwa dan maqa>s}id shari>’ah.
Sementara al-Sarakhsi, seorang ulama terkemuka, sebagaimana yang dikutip Iskandar Usman dari kitabnya, al-Mabsu>t}, mengatakan, istih}sa>n pada hakikatnya adalah dua macam qiyas. Yang pertama, qiyas yang jelas (qiyas ja>li>) tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syari’at, lemah dan ia dinamakan dengan qiyas. Sedangkan yang kedua adalah qiyas yang tersembunyi (qiyas kha>fi>) yang mempunyai pengaruh yang kuat. Inilah yang dinamakan istih}sa>n. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan istih}sa>n lebih diutamakan dari pada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istih}sa>n dari pada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan kepada kha>fi> atau jali>-nya (tersembunyi atau jelasnya) bentuk qiyas.[32] Dengan berlandaskan pengertian itu dapatlah kita pahami pada dasarnya istih}sa>n itu belum keluar dari empat sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama.

2.    Dalam Us}u>l Fiqh Sha>fi’i
Istih}sa>n dalam pemahaman Imam Shafi’i, sebagaimana ucapannya dalam al-Risa>lah, dapat kita simpulkan adalah pendapat yang tidak bersandar kepada keterangan (al-khabar) dari salah satu dari empat dalil syara’, yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil dari al-khabar itu secara lafadz dan juga tidak diambil dari logikanya secara qiyas, serta tidak ada ijma’ pada hukum tersebut, maka fatwa tersebut dinamakan istih}sa>n karena tidak bersandarkan kepada al-khabar baik secara langsung kepada nas maupun secara istinba>t}. Fatwa ini hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya dan dengan kecenderungan perasaannya, tanpa berdalih kepada suatu al-khabar dan tanpa mempertanggungkan kepada al-khabar itu. Menurut pendapat dan pemahaman Imam Shafi’i[33], haram bagi seseorang berpendapat dengan istih}sa>n, apabila istih}sa>n itu bertentangan dengan al-khabar. Dan al-khabar, yang terdiri atas kitab dan sunnah, adalah sesuatu yang berharga yang diteliti maknanya oleh mujtahid untuk memperoleh pengertiannya yang benar.
Dengan demikian, setidaknya ada gambaran yang jelas, bahwa Imam Shafi’i, menghubungkan (mengasosiasikan) istih}sa>n dengan semua fatwa yang tidak disandarkan kepada al-khabar, baik secara langsung kepada nash maupun dengan cara menghubungkan kepada nash dengan cara kias. Intinya, dalam pandangan Imam Shafi’i, istih}sa>n adalah pendapat yang tidak merujuk kepada al-Qur’an atau sunnah atau ijma’ atau athar maupun qiyas.

Imam Shafi’i dan Istih}san
Salah satu ungkapan Imam Shafi’i yang sangat masyhur seputar istih}sa>n adalah من استحسن فقد شرع, yaitu “barang siapa yang melakukan istih}sa>n, maka ia telah membuat syari’at (baru)”.[34] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Imam Shafi’i membatalkan dalil istih}sa>n, karena itu beliau menulis dalam pasal tersendiri dalam kitabnya al-Umm dengan judul “Ibt}a>l al-Istih}sa>n (pembatalan dalil istih}sa>n). Bahkan al-Qa>d}i> al-Baid}a>wi>, salah seorang pengikut beliau yang menulis buku Minha>j al-Wus}u>l ila> ‘Ilmi al-Us}u>l menempatkan istih}sa>n pada bab al-Adillah al-Mardu>dah.[35]
Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau terhadap istih}sa>n. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam Shafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan istih}sa>n.[36]

Titik Temu Pandangan al-Shafi’i dan Abu Hanifah
Melihat perbedaan-perbedaan pandangan di atas, sepintas kita akan melihat perbedaan yang sangat krusial antara mereka. Tetapi kalau kita lihat kembali latar belakang menjadikan istih}sa>n sebagai dalil dan sebab adanya penolakan dari mazhab Shafi’i, ternyata di sana ada persamaan yang secara tidak langsung disepakati oleh kedua mazhab tersebut, yaitu mereka sepakat dengan cara pengambilan hukum harus sesuai dengan dalil yang kuat. Baik itu dengan cara istih}sa>n ataupun dengan cara lainnya. Karena ulama mazhab Hanafi pun sepakat, orang yang melakukan istih}sa>n dengan hawa nafsunya atau tanpa ada dalil yang kuat bukan termasuk istih}sa>n yang merupakan dalil pokok dalam pengambilan hukum.
Oleh karena itu, sebenarnya mereka berselisih dalam penamaan istilah saja. Di mana ulama Shafi’i memandang cara-cara yang ada dalam istih}sa>n itu, sudah terwakili oleh dalil-dalil muttafaq alaih, sedangkan ulama mazhab Hanafi memiliki nama sendiri yaitu istih}sa>n. Tetapi dengan adanya perbedaan ini, kita tidak lantas menyalahkan ulama Hanafiyah dalam penamaan istih}sa>n. Karena inti dari bahasan istih}sa>n itu adalah, berhujjah berdasarkan dalil atau tidak. Selain itu juga, rasanya tidak masuk akal kalau seandainya Imam Hanafi yang sudah kita kenal sebagai ulama mazhab bertindak ceroboh dalam menentukan suatu hukum. Karena itu, sejauh penelusuran penulis, belum pernah menemukan riwayat dimana beliau, misalnya, mencela berbagai istih}sa>n yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah.

Perkembangan Mazhab
            Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah, kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
            Beberapa kitab Imam Abu Hanifah yang dapat kita jumpai adalah: al-Fiqh al-Akbar dan al-‘A>lim wa al-Muta’allim. Sedangkan kitab-kitab fiqh mazhab Hanafi dibedakan menjadi tiga bagian: al-Us}u>l,[37] al-Nawa>dir,[38] dan al-Fatawa>.[39]

Kesimpulan
Mazhab Hanafi dibangun oleh Imam al A’Zham Abu Hanifah, al-Nu’man bin Thabit bin Zuwata al-Kufi. Dilahirkan pada tahun 80 H dan telah meniggal dunia pada tahun 150 H. Dasar istinbath hukumya menggunakan: al-Qur’an, hadis, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, istih}san, dan ‘urf.
            Corak pola pikir Imam Abu Hanifah lebih bersifat logis, hal ini dikarenakan beliau banyak belajar fiqh pada ulama’ Irak, dan beliau dianggap representatif untuk mewakili pemikiran aliran ra’yu.
Dalam menetapkan hukum Islam, Abu Hanifah selalu berpegang teguh pada nash al-Qur’an, hadis, dan ijma’ (qoul sahabat). Namun jika tidak ditemukan di dalam ketiga sumber hukum tersebut, Abu Hanifah menggunakan ra’yu, yakni pengkomunikasian antara subtansi kandungan nash, mashalahat umum dengan fakta empiris masyarakat, sehingga qiyas, istih}sa>n dan ‘urf merupakan dasar hukum yang juga dipegangi oleh Abu Hanifah.

Daftar Pustaka
Baghdadi (al), Ahmad ibn Ali Abu Bakar al-Khatib. Tarikh Baghdad, XIV. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah. 1990.

Ghazaly (al), Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa> fi> ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1417 H.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002.

Hayder, Abdulloh. Mazhab Fiqh; Kedudukan dan Cara Menyikapinya. Riyadh: King Fahd National Library. 2004.

Jazari (al), Syamsuddin Muhammad ibn Yusuf. Mi’ra>j al-Minha>j Sharh} Minha>j al-Wushu>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l li al-Qa>d}i> al-Baid}a>wi>. II. ttp: tp. 1993.

Khin (al), Mus}t}afa> Sa’id Atha>r  al-Ikhtila>f  fi>  al-Qawa>’id  al-Us}u>liyyah  fi  Ikhtila>f al-Fuqaha>’. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah. 1996.

Mubarak, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000.

Muhammad, Abu al-Fadhl. Lisan al-‘Arab, Cet. I. Beirut: Dār Shadir. 1410 H.

Shafi’i (al). al-Risa>lah, Tahqiq Muhammad Sayid Kailani, Cet. I. Mesir: tp. 1969.

----------------.  al-Umm (Beirut: Dār al-Fikr, tt.

Shalabi (al), Must}afa> Ta’li>l al-Ahka>m.   Beirut:  Dā al-Nazah  al-‘Arabiyah. 249 H.

Shirbashi (al), Ahmad. al-A’Immah al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Hilal. tt.

Thahhan (al), Mahmud Taisir Mushtalah al-Hadits. Surabaya: al-Hidayah. tt.

Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1994.

Zahrah, Muh.  Abu. Us}u>l al-Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi. 1958.

----------------. Ushul al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2007.

Zuhaily (al), Wahbah.  Us}u>l  al-Fiqh  al-Isla>my, vol. 2. Damaskus: Dar  al-Fikr.  1986.


[1] Alumni Pascasarjana UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Shari’ah.
[2]  Abdulloh Hayder, Mazhab Fiqh; Kedudukan dan Cara Menyikapinya (Riyadh: King Fahd National Library,2004), 35.
[3] Berasal dari kata hani>f, yang berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Lihat: M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 185.
[4] Hanifah dalam bahasa Irak berarti tinta. Lihat : Ibid., 185.
[5] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 74.
[6]Muh.  Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), 20.
[7] Abu Hanifah lahir di lingkungan pedagang kaya yang taaat. Oleh sebab itulah  ia ahli berdagang, bahkan di masa muda ia lebih cenderung untuk berdagang. Ia dikenal sebagai pedagang kain sutera dan wol (bazzaz). Bahkan ia memiliki toko yang terkenal di kufah. Ketaatannya terhadap agama menjadikannya sebagai pedagang yang jujur, tidak pernah berbohong kepada pembeli, bahkan ia pasti menceritakan cacatnya barang yang dijual jika terdapat cacat di dalamnya. Diceritakan bahwa Abu Hanifah memiliki rekanan bisnis (syarik) yang bernama Hafsh Ibnu Abdul Rahman. Suatu saat ia menjadikan Hafsh sebagai wakil dalam menjaga tokonya dengan catatan ia harus mengutarakan cacat yang terdapat pada dagangannya. Tetapi sang wakil lupa setalah terdapat sesorang membeli barang dagangan. Akhirnya Abu Hanifah mencari pembeli tersebut namun tidak dapat ditemukan. Maka ia pun menyedekahkan seluruh hasil penjualannya di hari itu. Lihat: Ahmad al-Shirbashi, al-A’Immah al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Hilal, tt.),19.
[8] al-Shirbashi, al-A’Immah, 20.
[9] Ibid., 20.
[10] Ibid., 22.
[11] Pergolakan Pemikiran dalam Islam mulai tumbuh pasca wafatnya Rasulullah SAW, dan mulai meruncing setelah terjadinya Arbitrase (tahkim) pasca perang Shifin tahun 37 H dengan munculnya Khawarij, Shi’ah dan Pendukung Mu’awiyah. Justifikasi untuk membenarkan kelompok masing-masing dengan argumentasi dalil dan rasio agama menjadi awal pergolakan pemikiran Islam. Di tengah pergolakan pemikiran inilah lahir dua metode pemikiran, yakni metode naql yang menitikberatkan teks al-Qur’an dan hadis yang lebih didominasi masyarakat Mekkah dan Madinah, dan metode ‘aql dengan menitikberatkan penggunaan akal dalam menentukan hukum dengan berpedoman pada nash yang didominasi masyarakat luar Mekkah dan Madinah sebagai konsekwensi logis dari letak geografis yang jauh dari pusat ilmu islam. Ditengah-tengah masyarakat yang menggunakan metode ‘aql inilah lahir seorang ulama’ madzhab bernama Nu’ma>n bin Thabit di Kufah (80 H - 150 H). Kondisi sosio-cultural ini membentuk pola pikir Imam Abu Hanifah di samping kecerdasan dasar yang dimilikinya sehingga Abu Hanifah dikenal sebagai ahli ra’yu.
[12] Oleh karena itu, Ghasan al-Murji’i al-Shahrastany dan al-Ash’ary mengklaim bahwa Abu Hanifah termasuk golongan Murji’ah Ahlu al-Sunnah. Walaupun Abu Hanifah keberatan disebut dengan sebutan Murji’y. Prinsip dasar kata irja> menurut Abu Hanifah adalah mengembalikan kepada Allah, mengenai urusan Utsman Dan Ali. Hal ini sekaligus penolakan terhadap doktrin Khawarij tentang pengusiran pelaku dosa besar dari komunitas muslim, yang berarti mereka menganggap bahwa Khalifah Uthman adalah khalifah yang syah secara hukum. Abu Hanifah juga menolak doktrin Syi’ah tentang superioritas Ali atas khalifah lainnya. Konsep iman dan irja> mampu membantu mengatasi kegelisahan moral dimasyarakat, yang disebabkan pandangan kaum Khawarij. Para pelaku dosa tetap memiliki harapan untuk masuk surga, jika mereka mau bertobat. Pendapat Abu Hanifah ini selaras dengan pendapat para ulama sesudahnya seperti al-Ash’ari.
[13] al-Shirbashi, al-A’Immah, 155-157.
[14] Ibid., 160.
[15]Ahmad ibn Ali Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, 1990), Jilid XIV, 368.
[16] Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal. Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
[17] Para sahabat menurut Imam Hanafi adalah termasuk golongan orang-orang membantu menyampaikan risalah agama, mereka lama bergaul dan dekat dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana kaitan hadis Nabi dengan al-Qur’an.
Perkataan sahabat mendapat posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah, karena menurutnya, mereka adalah pembawa ajaran Rasul sepeninggalnya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat dengan kebenaran. Oleh karena itu, pernyataan hukum mereka dapat dikutip dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat. Lihat: Hasan,  Perbandingan Mazhab, 189.
[18] Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ’illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nas yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya.
[19] Secara  etimologi  istih}sa>n dari  kata  al-h}asan  yang berarti  sesuatu  yang baik. Dengan adanya huruf  tambahan  hamzah,  si>n dan  ta>’,  maknanya  menjadi  menganggap  baik  sesuatu. Sedangkan secara  terminologi, istih}sa>n  memiliki  makna  yang  beragam.  Di antaranya:
الأخذ بمصلحة جزئية في مقابلة دليل كلي
“Mengambil  kemaslahatan  yang  bersifat  parsial  dan  meninggalkan  dalil yang bersifat umum (kully)”. Lihat Mus}t}afa> Sa’id al-Khin, Atha>r  al-Ikhtila>f  fi>  al-Qawa>’id  al-Us}u>liyyah  fi  Ikhtila>f al-Fuqaha>’, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah. 1996), 38. Bandingkan, Wahbah  al-Zuhaily, Us}u>l  al-Fiqh  al-Isla>my, vol. 2 (Damaskus: Dar  al-Fikr,  1986), 739.
[20] ‘Urf (adat kebiasaan) adalah segala sesuatu yang sudah dikenal diantara manusia dan telah dibiasakan oleh mereka serta dijalankan secara terus menerus baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dapat digunakan sebagai hukum apabila tidak bertentangan dengan dalil syara’.  Lihat: Hasan, Mazhab, 194.

Diantara contohnya adalah penggunaan kata walad sebagai anak baik laki-laki maupun perempuan, selain itu dalam hal jual beli cukup dengan serah terima barang dengan tanpa ucapan ijab qabul.
[21] Dominasi ra’yu dalam pemikiran Abu Hanifah memiliki konsekuensi atas lahirnya konsep qiyas. Keteguhan memegangi teks al-Qur’an yang universal, hadis/sunnah dan ijma’ yang keduanya hanya menyikapi masalah yang telah terjadi saja, maka kebutuhan untuk menyelesaikan masalah hukum kontemporer yang tidak ada penjelasannya secara jelas di dalam ketiga sumber hukum tersebut, maka Abu Hanifah merasa perlu untuk menggunakan ra’yu dalam menyelesaikannya.
[22] Zahrah, Ushul al-Fiqh, 253 .
[23] Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushtalah al-Hadits, (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 71-72.
[24] al-Shirbashi, al-A’Immah, 32.
[25] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), 6.
[26] Abu al-Fadhl Muhammad, Lisan al-‘Arab, Cet. I, (Beirut: Dār Shadir, 1410 H), 117.
[27] Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaly, al-Mustashfa> fi> ‘Ilm al-Us}u>l, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H), 138.
[28] Usman, Istihsan, 25.
[29] Must}afa> al-Shalabi, Ta’li>l al-Ahka>m  (Beirut: Dār  al-Nazah al-‘Arabiyah, 249 H.), 346.
[30] Usman, Istihsan, 44.
[31] Muhammad Abu Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 262.
[32] Usman, Istihsan, 45-46.
[33] al-Shafi’i, al-Risa>lah, Tahqiq Muhammad Sayid Kailani, Cet. I, (Mesir: tp., 1969),  503.
[34] al-Shafi’i,  al-Umm (Beirut: Dār al-Fikr, tt.) 25.
[35] Syamsuddin Muhammad ibn Yusuf al-Jazari, Mi’ra>j al-Minha>j Sharh} Minha>j al-Wushu>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l li al-Qa>d}i> al-Baid}a>wi>, II, (ttp: tp. 1993), 237.
[36] Beberapa contohnya adalah:
-        Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan, demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu. Sebagian fuqaha>’ mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qa>d}i>. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam Shafi’i ber- istih}sa>n dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin.
-        Istih}sa>n beliau dalam perpanjangan waktu shuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya ini hanyalah istih}sa>n dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.
-        Istih}sa>n beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan, “Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan)”.

Sepintas dari keterangan dan contoh di atas, kelihatan adanya kontradiktif di dalamnya. Di satu sisi terjadi pengingkaran, namun di sisi lain terdapat fakta penerapan Imam al-Shafi’i terhadap istih}sa>n, namun jika dicermati dengan seksama, maka sebenarnya hal ini semakin menegaskan bahwa istih}sa>n yang diingkari oleh Imam Shafi’i adalah istih}sa>n  yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil shar’i.
[37] Pendapat-pendapat yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dan sahabatnya.
[38] Pendpat yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam al-Us}u>l.
[39] Pendapat pengikut Imam Abu Hanifah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar